Jayaprana dan Layonsari: Drama Tentang Pengendalian Diri

JAYAPRANA DAN LAYONSARI

Alkisah, di sebuah desa di Negeri Kalianget, Bali, hiduplah sebuah keluarga miskin. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri yang memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kehidupan keluarga tersebut sungguh memprihatinkan karena selalu serba kekurangan. Kesengsaraan keluarga itu semakin bertambah ketika suatu ketika desa mereka diserang wabah penyakit yang menyebabkan empat orang dari keluarga itu meninggal dunia. Satu-satunya dari anggota keluarga itu yang selamat adalah si anak laki-laki bungsu bernama Jayaprana yang saat itu masih kecil.

Jayaprana           : (berdoa)  Oh Sang Hyang Widhi, mengapa Engkau jauhkan aku dari anggota keluargaku? Aku tak sanggup hidup sebatang kara seperti ini.Bagaimana caraku bertahan hidup?  Haruskah aku menyusul mereka? Agar aku tidak sendiri di sini? (merenung) Tidak.. tidak… Aku harus tetap hidup. Aku akan menghadap Baginda Raja dan memohon kemurahan hati Beliau.

Jayaprana lalu pergi ke Istana Kalianget untuk menghadap Raja Kalianget. Setelah diantar ke depan singgasana Raja oleh seorang pengawal, Jayaprana duduk bersimpuh sambil menyembah sang Raja,

Jayaprana           : Mohon maafkanlah kelancangan hamba ini telah berani menghadap Baginda tanpa membuat janji terlebih dahulu.

Raja Kalianget   : Tidak apa-apa. Sekarang katakan apa tujuanmu menghadapku. Aku yakin itu adalah sesuatu yang penting.

Jayaprana           : Hamba berkeinginan untuk bekerja di istana ini sebagai salah seorang abdi Baginda Raja.

Raja Kalianget   : Mengapa engkau ingin bekerja sebagai abdiku?

Jayaprana           : Karena hamba tidak ingin hidup sebatang kara di desa hamba, Paduka. Hamba sudah tidak memiliki keluarga karena wabah yang menyerang desa hamba.

Raja Kalianget   : (berpikir sebentar) Baiklah kamu kuangkat menjadi abdiku. Sekarang kamu boleh tinggal di istana ini dan bekerja sesuai titahku.

Jayaprana           : Ampun Baginda, bukannya hamba lancang tetapi hamba masih ingin tinggal di rumah peninggalan orang tua hamba.

Raja Kalianget   : Baiklah kalau begitu. Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini dan pulang ke rumahmu. Besok akan ada seorang abdiku yang menjemputmu dan memberitahumu semua hal yang harus kau lakukan sebagai abdiku.

Jayaprana           : Beribu terima kasih, Paduka Raja. Hamba mohon pamit.

Jayaprana sungguh beruntung karena Raja Kalianget mengambulkan permintaannya. Sejak itulah, Jayaprana mengabdi kepada Raja Kalianget. Ia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Setiap pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai abdi Raja. Tidak mengherankan jika ia menjadi abdi kesayangan sang Raja.

Waktu terus berjalan. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Karena itulah, ia menjadi idola para dayang istana. Suatu ketika, Raja Kalianget memanggil Jayaprana untuk menyampaikan perintah penting.

Jayaprana           : Sembah sujud hamba haturkan kepada Paduka Raja. Ada apa gerangan Paduka Raja memanggil hamba?

Raja Kalianget   : Jayaprana, sekarang kau telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan cakap. Mengingat usiamu yang sudah dewasa, sudah saatnya kau mencari seseorang untuk dijadikan istri. Saya tahu bahwa banyak dayang yang ingin menjadi istrimu. Karena itu, kusarankan kau memilih salah satu dari dayang-dayangku untuk dijadikan istrimu.

Jayaprana           : Ampun, Baginda! Hamba bukan bermaksud untuk menolak titah Baginda. Hamba ingin menikah, tapi bukan dengan dayang-dayang istana. Jika diperkenankan, izinkanlah hamba untuk mencari calon istri hamba di luar istana ini.

Raja Kalianget   : Baiklah Jayaprana jika itu yang kamu inginkan. Aku pun tidak akan menghalangimu untuk memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu.

Jayaprana           : Terima kasih Baginda, hamba mohon pamit.

Mendapat persetujuan tersebut, keesokan harinya Jayaprana berjalan-jalan ke pasar yang terletak di depan istana untuk melihat-lihat gadis yang lalu-lalang. Setiba di pasar, ia sengaja duduk di depan pasar sambil memperhatikan gadis-gadis yang lewat di depannya. Tak berapa lama kemudian, tampak dari kejauhan seorang gadis berjalan melenggang dengan mengenakan pakaian cukup sederhana. Gadis itu memiliki paras yang cantik serta senyum yang manis dan mempesona. Si gadis yang bernama Layonsari itu berjalan menuju ke pasar sambil menunduk malu-malu dan matanya sesekali melirik ke sekelilingnya. Jayaprana pun terpana saat melihat gadis yang cantik jelita itu.

Jayaprana           : (bergumam) Oh, gadis itu sungguh cantik dan mempesona. Siapakah perempuan itu dan dari mana asalnya?

Layonsari            : (merasa diperhatikan, lalu menoleh ke Jayaprana. Segera setelah pandangan mereka bertemu, Layonsari melenggang sambil tersenyum)

Pandangan pertama itu telah membuat mereka saling jatuh hati.  Setelah gadis itu berlalu dan menyelinap di balik keramaian pasar, Jayaprana segera mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya.

Jayaprana           : Permisi bu, apakah ibu kenal dengan gadis yang lewat barusan?

Penjual Nasi      : Ooo… Ya, ibu kenal. Kalau tidak salah namanya Layonsari. Setiap pagi dia datang ke pasar ini untuk membeli kebutuhan dapur keluarganya.

Jayaprana           : Benarkah? Dari mana asalnya?

Penjual Nasi      : Menurut cerita orang-orang, dia adalah anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar.

Jayaprana           : Terima kasih atas informasinya Bu!

Setelah memperoleh keterangan tentang gadis itu, ia pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada Raja Kalianget.

Jayaprana           : Sembah sujud hamba haturkan kepada Paduka Raja. Hamba telah menemukan seseorang saya dambakan untuk dijadikan istri.

Raja Kalianget   : Siapa gerangan itu?

Jayaprana           : Gadis itu bernama Layonsari, putri Jero Bendesa dari Banjar Sekar.

Raja Kalianget   : Baiklah. Kuharap keputusanmu tentang calon istrimu sudah mantap. Aku akan menulis surat kepada Jero Bendesa. Tunggulah di sini. (menulis surat)

Jayaprana           : Baik, Paduka Raja.

Raja Kalianget   : Jayaprana, besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu. (menyerahkan surat)

Jayaprana           : Baik, Baginda

Keesokan hari, pagi-pagi sekali Jayaprana pergi ke rumah Jero Bendesa.

Jero Bendesa    : (kaget) Maaf, ada apa gerangan seorang abdi Raja berkunjung ke rumah saya?

Jayaprana          : Hamba ingin mengantar surat dari Baginda Raja.

Ibu Jero              : (mengernyitkan dahi) Surat dari Raja?

Jero Bendesa    : Biar saya yang baca. (membaca surat) Oh!

Ibu Jero              : Ada apa?

Jero Bendesa    : Raja menyatakan bahwa Beliau ingin menikahkan Sang Jayaprana dengan putri kita, Layonsari. (kepada Layonsari) Bagaimana putriku, apakah kamu bersedia menikah dengan Jayaprana?

Layonsari            : (hanya tersenyum malu-malu)

Jayaprana           : Layonsari, maukah kamu menjadi istriku?

Layonsari            : (mengangguk sambil tersenyum)

Jero Bendesa     : (ikut tersenyum) Layonsari, tampaknya keputusan hatimu sudah tetap. Aku yakin kau akan hidup bahagia bersamanya. Benar, kan, Bu?

Ibu Jero              : Benar, suamiku. Sudah saatnya anak kita yang sudah dewasa ini menjalani kehidupan bahagianya berumah tangga dengan seorang abdi Raja yang tampan.

Jayaprana           : (tersipu malu) Kalau begitu hamba mohon pamit untuk menghadap Baginda Raja.

Jayaprana bergegas menuju istana untuk menyampaikan kabar gembira kepada Baginda Raja Kalianget.

Raja Kalianget   : Bagaimana, Jayaprana?

Jayaprana           : Ampun, Baginda! Lamaran hamba diterima oleh keluarga gadis itu.

Raja Kalianget   : Syukurlah, Jayaprana! (memanggil pengawal) Pengawal!  Umumkan kepada seluruh keluarga istana bahwa perkawinan Jayaprana dengan Layonsari akan dilaksanakan pada hari Selasa Legi, Wuku Kuningan di halaman istana.

Pengawal            : Daulat, Baginda.

Raja Kalianget   : (Memanggil Mahapatih setelah pengawal meninggalkan ruangan) Mahapatih!

Mahapatih          : Hamba, Paduka.

Raja Kalianget   : Perintahkan para punggawa istana untuk mendirikan balai-balai dan mengurus segala persiapan demi keperluan pesta pernikahan Jayaprana dan Layonsari!

Mahapatih          : Hamba laksanakan, Paduka.

Jayaprana           : (Setelah Mahapatih meninggalkan ruangan) Terima kasih, Paduka Raja

Raja Kalianget   : Jangan sungkan, Jayaprana. Kau telah kuanggap seperti anakku sendiri. Sekarang pergilah dan bersiap-siaplah untuk upacara pernikahanmu

Jayaprana           : Hamba mohon undur diri, Paduka.

Saat hari pesta pernikahan itu tiba, Jayaprana bersama para patih dan punggawa istana serta masyarakat sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput calon istrinya. Setelah melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua mempelai kemudian diiring ke istana dengan menggunakan tandu. Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas tandu untuk memohon doa restu kepada Raja Kalianget.

Jayaprana           : Yang Mulia Baginda Raja Kalianget, hamba, Jayaprana, memohon restu Baginda untuk melangsungkan pernikahan hamba dengan calon istri hamba, Layonsari.

Raja Kalianget   : (Mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun)

Upacara pernikahan berlangsung sangat meriah, dengan disaksikan oleh sebagian besar masyarakat KeRajaan Kalianget. Setelah pesta pernikahan itu usai, Jayaprana bersama istrinya pun memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Setelah keduanya pergi, Raja Kalianget segera mengumpulkan seluruh patihnya untuk meminta pertimbangan tentang bagaimana cara menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam.

Raja Kalianget         : Para patihku yang setia, aku sedang dilanda kesedihan yang mendalam dan tidak dapat kucari jalan keluarnya.

Mahapatih                : Ada apa gerangan, Baginda Raja?

Raja Kalianget         : Aku sedang jatuh cinta kepada Layonsari, istri Jayaprana. Jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila!

Mahapatih                : Maafkan kelancangan hamba, Baginda. Tetapi menurut hemat hamba, Baginda tidak seharusnya menuruti nafsu pribadi apalagi sampai menginginkan gadis yang telah menjadi istri orang lain.

Raja Kalianget         : Aku tidak menuruti nafsu pribadi! Aku hanya sedang dimabuk asmara, apa itu tidak boleh?! (marah) Jika kau tidak menuruti keinginanku, kau akan menemui ajalmu sekarang juga!

Mahapatih                : Ampun beribu ampun, Baginda. Hamba hanya bermaksud menasehati agar Baginda tidak berada di jalan yang salah.

Raja Kalianget         : Apa katamu?! Beraninya kamu menasihati Raja. Sekarang keluar kamu dari ruangan ini atau kupenggal kepalamu

Mahapatih                : Ampun beribu ampun, Baginda. (Segera meninggalkan ruangan)

Raja Kalianget         : Sekarang, apa ada yang bisa memberiku cara untuk menyingkirkan Jayaprana dari Layonsari?

Patih Saunggaling : Ampun, Baginda. Hamba memiliki saran. Baginda Raja harus menitahkan Jayaprana pergi ke Teluk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulan. Saat Jayaprana sudah sampai di sana bersama hamba dan beberapa prajurit, hamba akan menghabisi nyawanya.

Raja Kalianget         : Patih Saunggaling, kuterima saranmu. Sekarang pergi dan bersiap-siaplah untuk tugasmu kali ini.

Patih Saunggaling : Baik, Baginda.

Beberapa hari kemudian, Raja Kalianget pun memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban (balai penghadapan). Mendapat panggilan tersebut, Jayaprana pun segera menghadap sang Raja yang teramat dihormatinya.

Jayaprana           : Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?

Raja Kalianget   ; Ada tugas penting untukmu. Besok pagi-pagi kamu harus berangkat ke Teluk Terima untuk menyelidiki perahu yang kandas dan kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana!

Jayaprana           : Daulat, Baginda.

Jayaprana segera kembali ke rumahnya untuk menyampaikan berita itu kepada sang istri. Mendengar berita itu, Layonsari tiba-tiba mendapat firasat buruk. Apalagi tadi malam ia bermimpi melihat rumah mereka dihanyutkan oleh banjir besar. Karena alamat-alamat buruk itulah ia meminta agar Jayaprana membatalkan keberangkatannya ke Teluk Terima.

Layonsari            : Kanda, sebaiknya urungkan saja niat Kanda itu. Dinda khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri Kanda.

Jayaprana           : Tidak, Dinda. Ini perintah Raja. Kanda harus berangkat. Dinda tidak usah cemas, kematian ada di tangan Tuhan.

Keesokan hari, berangkatlah Jayaprana ke Teluk Terima bersama Patih I Saunggaling dan sejumlah prajurit istana. Saat mereka melewati sebuah hutan lebat, Patih I Saunggaling menikam Jayaprana hingga tewas seketika. Setelah itu, Patih Saunggaling bersama rombongannya kembali ke istana untuk menyampaikan kabar palsu bahwa Jayaprana tewas karena diserang perampok.

Pengawal            : Mohon ampun, hamba menyampaikan pesan dari Patih Saunggaling bahwa Sang Jayaprana telah meninggal dunia karena diserang perampok saat berada di hutan lebat.

Layonsari            : Suamiku tewas dirampok? Oh Hyang Widhi kenapa hal ini bisa terjadi?? (menangis tersedu)

Pengawal            : Mohon maaf hamba harus pamit. (pergi meninggalkan Layonsari yang masih menangis)

Layonsari            : (Sambil terisak) Oh Hyang Widhi, aku tahu bahwa suamiku meninggal karena dibunuh atas perintah Raja. Tolong balaslah perbuatan sang Raja lalim yang telah membunuh suamiku!

Keesokan hari, Raja Kalianget datang menemui Layonsari.

Raja Kalianget   : Layonsari, aku turut prihatin atas musibah yang menimpa suamimu. Tapi ketahuilah bahwa hidup dan mati itu di tangan Tuhan.

Layonsari            : (diam saja)

Raja Kalianget   : Jika kamu bersedia, aku akan menjadikanmu permaisuriku. Aku akan memberimu harta yang banyak dan aku akan mencukupi semua kebutuhanmu.

Layonsari            : Maafkan hamba, Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba.

Raja Kalianget   : Kamu berani melawanku?! (menarik tangan Layonsari) Sini ikut denganku ke istana!

Layonsari            : (mencabut keris yang terselip di pinggang sang prabu) Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku! (menikam dirinya sendiri dengan keris)

Raja Kalianget baru saja ingin mencegatnya, namun tubuh Layonsari sudah tergeletak di tanah. Melihat Layonsari tewas, sang Raja pun menjadi kalap. Ia langsung menyerang setiap orang yang mendekatinya. Kejadian itu berlangsung hingga berhari-hari sehingga banyak orang menjadi korban karena tikaman kerisnya. Perilaku Raja Kalianget tersebut benar-benar meresahkan seluruh rakyat negeri itu.

Mahapatih          : Pengawal! Kita tidak bisa diam saja! Kita harus menangkap Paduka Raja! Kumpulkan seluruh pasukan pengawal dan tangkap Paduka Raja! Kita masukkan dia ke penjara!

Pengawal            : Daulat, Mahapatih!

Akhirnya, sang Raja ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

***

Demikian cerita Jayaprana dan Layonsari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu: pertama, keutamaan sifat setia seorang istri sebagaimana yang ditunjukkan oleh Layonsari. Kedua, akibat buruk dari perbuatan semena-mena terhadap orang lain. Hal ini terlihat pada sikap Raja Kalianget. Akibat sikapnya yang arogan, sang Raja termakan oleh ucapannya sendiri bahwa dirinya akan menjadi gila jika tidak berhasil memperistri Layonsari, sampai akhirnya ia harus menjalani hidup di balik jeruji penjara.

Di sinilah pentingnya penerapan ajaran Tri Kaya Parisudha. Kita sebagai manusia harus menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan kita agar tetap suci dan terhindar dari berbagai masalah. Kita tidak boleh meniru sang Raja yang menjadi gelap mata karena terbelenggu nafsu, hingga mengeluarkan kata-kata yang jahat dan melakukan perbuatan kejam.

Categories: Bahasa dan Sastra, Makhluk Hidup & Biologi, Sosial | Tag: , , , , , , , , , , , , | 1 Komentar

Navigasi pos

1 thoughts on “Jayaprana dan Layonsari: Drama Tentang Pengendalian Diri

  1. lista

    this one’s very interesting.

Tulis komentar Anda